Rabu, 28 Mei 2008

Sejarah SMK PGRI 4

SMK PGRI 4 adalah sekolah menengah kejuruan ekonomi swasta yang tertua di Blitar.

PGRI 4-lah yang mempelopori dibukanya sekolah-sekolah kejuruan swasta sejenis, yang kini cukup banyak Anda lihat di wilayah yang sama.

Semua ini berawal dari keuletan sejumlah kecil 'anak muda' (usia mereka antara 20-an dan 30-an) yang sebagian di antaranya masih menjadi anggota-anggota staf pengajar SMK PGRI 4 sekarang.

Ketika itu, tahun 1982, hanya ada satu Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA SORE ) di Kota Blitar; sekolah yang kini menjadi SMK PGRI 4 Blitar. Belum ada satu pun SMEA swasta. Sementara itu, kelihatannya jumlah lulusan SMP yang ingin melanjutkan pendidikan mereka ke SMEA cukup banyak, sebagaimana bisa disaksikan setiap tahun pada saat pendaftaran SMEAN Blitar dibuka.

Diilhami kenyataan tersebut, beberapa orang guru SMEAN memutuskan untuk membuka sekolah swasta bersama-sama, untuk menampung sebagian siswa yang tak lolos ke SMEAN. Sekolah yang baru itu diberi nama SMEA SORE.

Para guru muda yang mendirikan sekolah ini adalah Bp. Muhdianto, SPd (berusia 26 tahun pada waktu itu, menjabat sebagai Kepala Sekolah sementara pada waktu sekolah itu resmi dibuka), Bp. Subaweh, BA (32 tahun, memegang jabatan sebagai Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum)

Noel Susenowati dan Suhanto, 1980

Bp. Sunardi, S.Pd,
pada Upacara Peringatan HUT RI.

Kepala Sekolah SMK PGRI 4 setelah Ibu Noel Susenowati adalah almarhum Bp. Sutoso, Bc.Hk, disusul oleh almarhum Bp. Ignatius Suyatno, sebelum akhirnya jabatan tersebut dipegang oleh Bp. Sunardi, S.Pd hingga sekarang.

Menjelang 1980-an, sekolah yang hanya memiliki 3 kelas, masuk siang, menumpang di gedung SMEAN Blitar itu mengalami masa sulit.

Sejak awal para guru yang mengabdikan diri di sana hanya memikirkan masalah proses belajar-mengajar yang harus tetap berjalan meskipun gaji para guru tidak teratur dan besarnya pun tak berarti ("Awaké dhéwé ora digaji ya ora apa-apa; sing penting murid-murid têtêp mlêbu (Seandainya kita tidak digaji pun tidak apa-apa; yang penting para siswa tetap bisa masuk sekolah)," tegas Bp. Widarso Hs. kepada rekan-rekannya waktu itu).

Hanya mengandalkan iuran bulanan dari para siswa, para guru ini lebih mementingkan idealisme mereka ketimbang kesejahteraan material -- itulah masa 'SPP tidak tetap'; mereka tidak ingin memberatkan para siswa yang kesulitan membayar SPP.

Kini mereka mengalami ujian terberat, yakni penyelewengan dana yang dilakukan oleh salah seorang pendirinya, yang mengakibatkan kondisi keuangan sekolah benar-benar kritis. Sekolah tersebut terancam gulung tikar, karena tanpa dana yang hilang itu tidak mungkin manajemen sekolah dapat dilaksanakan.

Para guru masih tetap optimis, namun mereka juga bersiap-siap menghadapi kemungkinan ambruknya SMEA ini dengan merencanakan untuk meniadakan penerimaan murid baru dan berkonsentrasi pada pelulusan sisa murid yang ada di kelas 2 dan 3.

Kesulitan itu dapat dilalui dengan terbukanya jalur untuk bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Ekonomi yang berkantor pusat di Semarang, pada paruh pertama 1980-an. Adalah Bp. Sunardi, S.Pd yang mati-matian memperjuangkan jalan keluar, hingga akhirnya beliau memperoleh solusi tersebut dan menyelamatkan SMEA PGRI 4.

Ibu Dra. Noel Susenowati dan Bp. Sunardi, S.Pd, BA, SH
saat membangun kembali SMK PGRI 4 pada 1988.

Namun masalahnya belum selesai. Kini para guru SMEA PGRI 4 harus berjuang mencari siswa baru ketika proses pendaftaran dibuka kembali.

Pada 'zaman perjuangan' inilah dedikasi para guru kembali teruji; Bp. Sunardi, S.Pd, Bp. Marsudi, dan Bp. Sugeng Kristiyono berkeliling Blitar dari pagi hingga petang, sampai jauh ke desa-desa, menawarkan pendidikan di SMEA PGRI 4 kepada warga Blitar. Mereka juga membuat sendiri spanduk-spanduk ala kadarnya, dan memasangnya sendiri di antara pohon-pohon dan tiang-tiang listrik di pelosok Kota ini.

Ibu Noel Susenowati dan para guru lainnya yang tidak mau meninggalkan PGRI 4 meskipun dalam kondisi sulit itu tanpa henti menyebarluaskan informasi mengenai PGRI 4 kepada para orangtua calon-calon siswa, sembari memperbaiki mutu pendidikan yang ditawarkan.

Tak mudah melakukan 'kampanye' tentang citra SMEA PGRI 4 ini. Pada dekade 1980-an, citra sekolah menengah kejuruan sangat kurang menarik; orangtua maupun para calon siswa merasa pendidikan menengah kejuruan kalah pamor dibanding SMA. Lebih-lebih sekolah kejuruan swasta. Meski begitu, para pengajar SMEA PGRI 4 tidak minder; mereka berusaha menyadarkan masyarakat mengenai keunggulan-keunggulan bersekolah kejuruan ekonomi (lihat tulisan Bp. Sunardi, S.Pd, BA, SH).

Perkenalan siswa baru 1992

Ibu Dra. Noel Susenowati (berdiri di sebelah meja),
Ibu Sri Hartanti, Ibu Dra. Endah D.A., serta Ibu Sarwati
(duduk), dalam acara perkenalan dengan siswa baru 1992.

Tekad mereka untuk tidak menyerah akhirnya mulai menampakkan buah yang cukup menggembirakan pada akhir dekade 1980-an.

Menunggu Kantor Kepala Sekolah selesai dibangun, 1995.

Sejak itu, SMEA PGRI 4 terus berkembang, hingga dapat memiliki gedung sendiri di atas tanah seluas 5000 meter persegi, dan memekarkan kelas-kelas sampai 21 buah.

Bahkan pada tahun diklat 2005/2006 SMK PGRI 4 terpaksa harus menolak lebih dari 100 orang calon siswa baru karena tidak ada tempat lagi (dan tidak memperoleh izin untuk menambahkan kelas baru).

Kepala Sekolah saat ini, Sunardi, S.Pd, BA, SH (kiri) berbincang dengan Ketua Program Akuntansi dan anggota staf pengajar senior SMK PGRI 4, Widarso Hs., BA.

Pada saat SMK (waktu itu SMEA) PGRI 4 baru saja berdiri di pertengahan dasawarsa 1970-an, Pak Widarso telah menunjukkan komitmennya untuk terus mengajar meskipun pada waktu itu kondisi keuangan sekolah 'byar-pet' dan tak mampu menawarkan insentif yang memadai kepada para guru. Kedua pengajar senior ini telah melewati tahun-tahun yang serba sulit bersama-sama.

Ketika berdiri, PGRI 4 belum memiliki gedung sendiri, dan harus 'membonceng' SMEA Negeri 1 sehingga para siswa masuk siang hari. Hanya ada 3 (tiga) kelas saja sebagai awal sejarah sekolah ini yang sekarang memiliki hampir seribu orang siswa, 21 (dua puluh satu) kelas, dan gedung berlantai dua.

H. Abdullah Mudzakir, S. Pd. (kiri), perwakilan Yayasan Pendidikan Ekonomi (berpusat di Semarang) yang memayungi SMK PGRI 4, berpose bersama Kepala Sekolah Sunardi, S.Pd, BA, SH, dan para siswa yang berhasil membawa pulang tambahan untuk 'koleksi' prestasi sekolah ini.

Abdullah MZBp. Subaweh, BA sama sekali
bukan 'orang luar' bagi SMK PGRI 4.
Beliau telah mengabdi sejak 'zaman perjuangan',
pertengahan 1970-an.

Berbekal pengalaman menghadapi dan mengatasi masa-masa sulit dalam sejarahnya, para pengajar dan karyawan SMK PGRI 4 kini tak henti mendorong para siswa agar pantang menyerah dalam mencapai apa yang mereka cita-citakan.

Tentu saja kami menyadari bahwa idealisme semata tidaklah cukup -- namun bila kami bicara tentang apa yang ideal, nilai penting optimisme, keuletan, dan kemandirian, semua itu bersumber dari pengalaman nyata. Adalah harapan kami agar para pengajar yang lebih muda serta para siswa di masa depan pun terus menjunjung nilai-nilai yang sama, bahkan meningkatkan segenap pencapaian yang telah ada saat ini. Insyaallah semua itu akan membuahkan hasil-hasil yang menggembirakan.

Sejarah SMK PGRI 4

SMK PGRI 4 adalah sekolah menengah kejuruan ekonomi swasta yang tertua di Blitar.

PGRI 4-lah yang mempelopori dibukanya sekolah-sekolah kejuruan swasta sejenis, yang kini cukup banyak Anda lihat di wilayah yang sama.

Semua ini berawal dari keuletan sejumlah kecil 'anak muda' (usia mereka antara 20-an dan 30-an) yang sebagian di antaranya masih menjadi anggota-anggota staf pengajar SMK PGRI 4 sekarang.

Ketika itu, tahun 1982, hanya ada satu Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA SORE ) di Kota Blitar; sekolah yang kini menjadi SMK PGRI 4 Blitar. Belum ada satu pun SMEA swasta. Sementara itu, kelihatannya jumlah lulusan SMP yang ingin melanjutkan pendidikan mereka ke SMEA cukup banyak, sebagaimana bisa disaksikan setiap tahun pada saat pendaftaran SMEAN Blitar dibuka.

Diilhami kenyataan tersebut, beberapa orang guru SMEAN memutuskan untuk membuka sekolah swasta bersama-sama, untuk menampung sebagian siswa yang tak lolos ke SMEAN. Sekolah yang baru itu diberi nama SMEA SORE.

Para guru muda yang mendirikan sekolah ini adalah Bp. Muhdianto, SPd (berusia 26 tahun pada waktu itu, menjabat sebagai Kepala Sekolah sementara pada waktu sekolah itu resmi dibuka), Bp. Subaweh, BA (32 tahun, memegang jabatan sebagai Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum)

Noel Susenowati dan Suhanto, 1980

Bp. Sunardi, S.Pd,
pada Upacara Peringatan HUT RI.

Kepala Sekolah SMK PGRI 4 setelah Ibu Noel Susenowati adalah almarhum Bp. Sutoso, Bc.Hk, disusul oleh almarhum Bp. Ignatius Suyatno, sebelum akhirnya jabatan tersebut dipegang oleh Bp. Sunardi, S.Pd hingga sekarang.

Menjelang 1980-an, sekolah yang hanya memiliki 3 kelas, masuk siang, menumpang di gedung SMEAN Blitar itu mengalami masa sulit.

Sejak awal para guru yang mengabdikan diri di sana hanya memikirkan masalah proses belajar-mengajar yang harus tetap berjalan meskipun gaji para guru tidak teratur dan besarnya pun tak berarti ("Awaké dhéwé ora digaji ya ora apa-apa; sing penting murid-murid têtêp mlêbu (Seandainya kita tidak digaji pun tidak apa-apa; yang penting para siswa tetap bisa masuk sekolah)," tegas Bp. Widarso Hs. kepada rekan-rekannya waktu itu).

Hanya mengandalkan iuran bulanan dari para siswa, para guru ini lebih mementingkan idealisme mereka ketimbang kesejahteraan material -- itulah masa 'SPP tidak tetap'; mereka tidak ingin memberatkan para siswa yang kesulitan membayar SPP.

Kini mereka mengalami ujian terberat, yakni penyelewengan dana yang dilakukan oleh salah seorang pendirinya, yang mengakibatkan kondisi keuangan sekolah benar-benar kritis. Sekolah tersebut terancam gulung tikar, karena tanpa dana yang hilang itu tidak mungkin manajemen sekolah dapat dilaksanakan.

Para guru masih tetap optimis, namun mereka juga bersiap-siap menghadapi kemungkinan ambruknya SMEA ini dengan merencanakan untuk meniadakan penerimaan murid baru dan berkonsentrasi pada pelulusan sisa murid yang ada di kelas 2 dan 3.

Kesulitan itu dapat dilalui dengan terbukanya jalur untuk bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Ekonomi yang berkantor pusat di Semarang, pada paruh pertama 1980-an. Adalah Bp. Sunardi, S.Pd yang mati-matian memperjuangkan jalan keluar, hingga akhirnya beliau memperoleh solusi tersebut dan menyelamatkan SMEA PGRI 4.

Ibu Dra. Noel Susenowati dan Bp. Sunardi, S.Pd, BA, SH
saat membangun kembali SMK PGRI 4 pada 1988.

Namun masalahnya belum selesai. Kini para guru SMEA PGRI 4 harus berjuang mencari siswa baru ketika proses pendaftaran dibuka kembali.

Pada 'zaman perjuangan' inilah dedikasi para guru kembali teruji; Bp. Sunardi, S.Pd, Bp. Marsudi, dan Bp. Sugeng Kristiyono berkeliling Blitar dari pagi hingga petang, sampai jauh ke desa-desa, menawarkan pendidikan di SMEA PGRI 4 kepada warga Blitar. Mereka juga membuat sendiri spanduk-spanduk ala kadarnya, dan memasangnya sendiri di antara pohon-pohon dan tiang-tiang listrik di pelosok Kota ini.

Ibu Noel Susenowati dan para guru lainnya yang tidak mau meninggalkan PGRI 4 meskipun dalam kondisi sulit itu tanpa henti menyebarluaskan informasi mengenai PGRI 4 kepada para orangtua calon-calon siswa, sembari memperbaiki mutu pendidikan yang ditawarkan.

Tak mudah melakukan 'kampanye' tentang citra SMEA PGRI 4 ini. Pada dekade 1980-an, citra sekolah menengah kejuruan sangat kurang menarik; orangtua maupun para calon siswa merasa pendidikan menengah kejuruan kalah pamor dibanding SMA. Lebih-lebih sekolah kejuruan swasta. Meski begitu, para pengajar SMEA PGRI 4 tidak minder; mereka berusaha menyadarkan masyarakat mengenai keunggulan-keunggulan bersekolah kejuruan ekonomi (lihat tulisan Bp. Sunardi, S.Pd, BA, SH).

Perkenalan siswa baru 1992

Ibu Dra. Noel Susenowati (berdiri di sebelah meja),
Ibu Sri Hartanti, Ibu Dra. Endah D.A., serta Ibu Sarwati
(duduk), dalam acara perkenalan dengan siswa baru 1992.

Tekad mereka untuk tidak menyerah akhirnya mulai menampakkan buah yang cukup menggembirakan pada akhir dekade 1980-an.

Menunggu Kantor Kepala Sekolah selesai dibangun, 1995.

Sejak itu, SMEA PGRI 4 terus berkembang, hingga dapat memiliki gedung sendiri di atas tanah seluas 5000 meter persegi, dan memekarkan kelas-kelas sampai 21 buah.

Bahkan pada tahun diklat 2005/2006 SMK PGRI 4 terpaksa harus menolak lebih dari 100 orang calon siswa baru karena tidak ada tempat lagi (dan tidak memperoleh izin untuk menambahkan kelas baru).

Kepala Sekolah saat ini, Sunardi, S.Pd, BA, SH (kiri) berbincang dengan Ketua Program Akuntansi dan anggota staf pengajar senior SMK PGRI 4, Widarso Hs., BA.

Pada saat SMK (waktu itu SMEA) PGRI 4 baru saja berdiri di pertengahan dasawarsa 1970-an, Pak Widarso telah menunjukkan komitmennya untuk terus mengajar meskipun pada waktu itu kondisi keuangan sekolah 'byar-pet' dan tak mampu menawarkan insentif yang memadai kepada para guru. Kedua pengajar senior ini telah melewati tahun-tahun yang serba sulit bersama-sama.

Ketika berdiri, PGRI 4 belum memiliki gedung sendiri, dan harus 'membonceng' SMEA Negeri 1 sehingga para siswa masuk siang hari. Hanya ada 3 (tiga) kelas saja sebagai awal sejarah sekolah ini yang sekarang memiliki hampir seribu orang siswa, 21 (dua puluh satu) kelas, dan gedung berlantai dua.

H. Abdullah Mudzakir, S. Pd. (kiri), perwakilan Yayasan Pendidikan Ekonomi (berpusat di Semarang) yang memayungi SMK PGRI 4, berpose bersama Kepala Sekolah Sunardi, S.Pd, BA, SH, dan para siswa yang berhasil membawa pulang tambahan untuk 'koleksi' prestasi sekolah ini.

Abdullah MZBp. Subaweh, BA sama sekali
bukan 'orang luar' bagi SMK PGRI 4.
Beliau telah mengabdi sejak 'zaman perjuangan',
pertengahan 1970-an.

Berbekal pengalaman menghadapi dan mengatasi masa-masa sulit dalam sejarahnya, para pengajar dan karyawan SMK PGRI 4 kini tak henti mendorong para siswa agar pantang menyerah dalam mencapai apa yang mereka cita-citakan.

Tentu saja kami menyadari bahwa idealisme semata tidaklah cukup -- namun bila kami bicara tentang apa yang ideal, nilai penting optimisme, keuletan, dan kemandirian, semua itu bersumber dari pengalaman nyata. Adalah harapan kami agar para pengajar yang lebih muda serta para siswa di masa depan pun terus menjunjung nilai-nilai yang sama, bahkan meningkatkan segenap pencapaian yang telah ada saat ini. Insyaallah semua itu akan membuahkan hasil-hasil yang menggembirakan.